Saturday 27 April 2013

V. Kawasan Tamblingan dihancur-leburkan oleh Arya Cengceng

Kawasan Tamblingan dihancur-leburkan oleh Arya Cengceng

Sekarang marilah kita kembali pada pertanyaan yang telah diketemukan diatas. Pertanyaannya adalah mengapa Pande Tamblingan menyembunyikan prasasti - prasasti dan perabot perabot memande lainnya dan mengapa mereka pergi mengungsi menyelamatkan diri dengan meninggalkan kampung halamannya?

Dalam tulisan Adnyana Ole mengenai penemuan bilah bilah prasasti Tamblingan itu, yang dimuat dalam BaliPost edisi tanggal 5 oktober 2002 yang berjudul : Menelusuri Jejak Masa Lalu Disisi Danau Tamblingan kepergian orang Tamblingan meninggalkan wilayahnya entah kemana, dipertanyakannya juga, sebagaimana dikemukakannya dalam penutup tulisannya sebagai berikut :

" Peneliti itu belum juga mengetahui penyebab masyarakat itu meninggalkan wilayah Tamblingan, apakah karena bencana alam atau daerah itu memang ditinggalkan dengan sengaja. Jika ditinggalkan dengan sengaja, pertanyaan berikutnya kemana mereka pergi? Jawabannya bisa diperoleh besok bisa juga satu abad mendatang karena proses penelitian bukanlah proses sekali jadi"

kita tidak perlu menunggu jawabannya satu abad yang akan datang. Dan juga tidak perlu menduga kepergian mereka karena bencana alam yang jelas mereka meninggalkan wilayahnya bukan dengan sukarela dan bukan pula karena bencana alam, tetapi karena bencana serangan hebat yang menghancur-leburkan wilayah mereka secara mendadak oleh tentara Majapahit, oleh karena kawasan Tamblingan adalah sentra industri raja raja Bali Kuno

Penyerbuan tentara Majapahit ke Tamblingan dipimpin salah seorang panglima perang Majapahit yang ikut dalam invasi penaklukan Bali oleh Gajah Mada pada tahun 1343, karena Raja Bali Asta Asura Ratna Bumi Banten, tidak mau tunduk pada hegemoni Majapahit. Nama panglima perang yang ditugaskan memimpin serangan mendadak itu adalah Arya Cengceng

Warga Pande yang masih hidup terpaksa mengungsi ke wilayah wilayah lainnya yang aman dari jangkauan tentara Majapahit, dengan terlebih dulu menyembunyikan prasasti prasasti dan benda benda berharga lainnya yang tidak mungkin mereka bawa mengungsi. Pande Tamblingan yang merantau itu kemudian terkenal dengan sebutan Pande Bangke Maong dalam babad babad Pande

Mengapa mereka terkenal dengan sebutan Pande Bangke Maong? Ada dua versi jawabannya mengenai hal itu. Mereka disebut Pande Bangke Maong, disebabkan oleh meranen atau berbisanya senjata perang yang mereka buat. Orang yang terkena tikaman atau tersentuh saja oleh senjata bikinan mereka, konon segera mati dan mayatnya mendadak menjadi maong, kusam warnanya, berwarna kotor dan seketika bercendawan. Versi yang lain, menyatakan bahwa kata Pande Bangke Maong merupakan plesetan dari kata-kata Pande Bang Kemawon yang berarti ”Pande Merah Saja’ warna khas Pande, karena merah adalah warna Bhatara Brahma, junjungan warga Pande. Dengan istilah Pande Bang Kemawon mereka ingin menunjukkan jati diri mereka sebagai penyembah Brahma.

Sekarang marilah kita ke masalah yang sangat penting, untuk menjawab mengapa Pande Tamblingan meninggalkan daerahnya dan pergi mengungsi menyelamatkan diri ke tempat-tempat yang aman. Jawabannya adalah karena strategi perang yang dilancarkan oleh Gajah Mada dengan menghancur leburkan terlebih dahulu pusat industri senjata raja Bali, sebelum melakukan serangan frontal ke seluruh Bali. Mengapa justru wilayah Tamblingan yang dijadikan sasarang? Karena sebagai ahli strategi yang ulung, Gajah Mada melalui laporan mata-matanya, tahu betul bahwa kawasan Tamblingan adalah kawasan Pande yang sangat terkenal, dan merupakan pusat pembuatan senjata bagi raja-raja Bali sejak dulu. Kemahiran mereka yang telah mampu membuat baju besi dan mampu membikin senjata yang beracun atau berbisa, tentu merupakan keunggulan Bali dan demi memenangkan perang, pusat pembuatan senjata itulah yang harus dilumpuhkan terlebih dulu dengan sekaligus menumpas habis Pande Tamblingan yang tersohor piawai membuat alat-alat perang.


Yang ditugaskan memimpin penghancuran itu adalah Arya Cengceng yang berhasil melaksanakan tugasnya dengan gilang gemilang. Setelah Bali berhasil dijajah oleh Majapahit, dan Raja yang ditempatkan di Bali tidak mempunyai lagi Pande yang punya keahlian seperti Pande Tamblingan, karena mereka banyak yang terbunuh dan sisanya menyelamatkan diri mengungsi ke tempat-tempat yang aman, timbulah masalah baru, apa yang harus dilakukan agar Pande Tamblingan yang masih hidup yang mengungsi entah kemana, bisa dibujuk agar mau pulang kembali ke Tamblingan, membangun kembali pusat pembuatan senjata, dengan memberi jaminan keselamatan penuh dari raja bagi Pande yang mau kembali ke Tamblingan.

Pande Tamblingan Tidak Mau Kembali

Tugas itu diberikan kepada Mantri Ularan dan para Upapati (pembesar) lainnya untuk membujuk agar Pande Tamblingan yang masih hidup mau kembali ke wilayahnya semula. Ternyata usaha itu gagal total, karena Pande Tamblingan tetap curiga dan takut kalau-kalau mereka diperdaya, dijebak, dan kemudian dihabisi seperti yang dialami rekan-rekannya. Oleh karena itu mereka tidak mau kembali ke wilayah asalnya di Tamblingan, apalagi yang memimpin pemulangan itu adalah orang-orang ganas yang menghancur leburkan wilayah mereka dan yang membunuh rekan-rekan mereka.

Untuk itu dikeluarkanlah prasasti oleh raja Prameswara, seorang raja dari Wngker, paman dari raja Hayam Wuruk, yang ditunjuk oleh Gajah Mada sebagai Kontrolir Bali, yang bertugas selain membantu sekaligus memata-matai Raja Bali yang memerintah Bali atas nama Majapahit.
Berikut adalah transkripsi prasasti dimaksud:

”Iku surat ingong katka bahang para mantri ularan samadya, maka nguni hupatiti, hinar plahangan, deninya Pande wesi ring Tamblingan ira ana muliha mareng Tamblingan manih para mantri mahangantra makna Arya Cengceng tayo sidi gawe kang kasujiwaing Tamblingan, lawanhire hane Arya Cengceng lung ta ya ri Tamblingan hanerahin Lwa Gajah apan ingong huwushawehengwonana Arya Cengceng lawan dening pangraga sekarekan kasijiwaning Tamblingan hingong ajegaken satak salawang nengken kawolu kang atura prenalas, dening panakraning desa, ira hane malrahidepa hing rama ning Tamblingan, unusan, Pangi, Kdu, Tngah Mel. Tithi ka-3, Isaka 1306”

Terjemahan bebasnya: ”Demikianlah suratku kepada para Menteri di Ularan semuanya, terutamanya kepada Hupapati, mengenai para Pande Besi di Tamblingan, supaya mereka diupayakan kembali ke Tamblingan. Para Mantri hendaknya menjaga keselamatan mereka dengan mengawal kepulangan mereka ke Tamblingan dan Arya Cengceng janganlah mengganggu ketentraman penduduk di Tamblingan, dan Arya Cengceng supaya pergi dari Tamblingan, dan pindah bertempat tinggal di Lwa Gajah (Goa Gajah) karena aku telah membagi tempat tinggal Arya Cengceng dan mengenakan iuran (pangraga sekar) untuk ketentraman desa dan penduduk Tamblingan , yang aku tetapkan sebesar 200 bagi setiap rumah (KK) dan agar iuran itu dibayar setiap sasih kawulu (sekitar bulan Pebruari). Hendaknya semua penduduk lebih menjaga semua hutan dikawasan Tamblingan, Unusan, Pangi, Kedu, Tengah Mel. Dikeluarkan tanggal 3, Saka 1306 (1384 M).

Dari perintah raja agar Arya Cengceng tidak mengganggu penduduk Tamblingan dan dengan tegas memerintahkan agar dia pergi dari wilayah Tamblingan dan menetap di Lwa Gajah, terlihat betapa kejam tingkah lakunya pada wkatu menghancurkan wilayah Tamblingan dan menyiksa rakyat yang masih hidup. Kendatipun ada jaminan bahwa penduduk dan Pande Tamblingan dijamin keamanannya sampai mereka tiba dengan selamat di wilayahnya semula, karena para menteri diperintahkan dengan tegas agar mereka mengantar dan menjaga keselamatan para Pande itu, toh tidak ada warga Pande yang mau kembali ke wilayahnya semula. Dengan demikian upaya pemulangan itu gagal total.

Karena prasasti pertama tidak mencapai hasil alias gagal total, dan karena begitu pentingnya peranan Pande Tamblingan bagi kekuatan pertahanan kerajaan, raja menerbitkan prasasti baru, 14 tahun setelah keluarnya prasasti pertama. Prasasti ini dikeluarkan tahun Saka 1320/1398 M, yang isinya mengulangi perintah yang termuat dalam prasasti pertama. Transkripsi prasasti yang kedua berbunyi sebagai berikut :

”Iku weruhane kang para mantring Ularan samadaya, makanguni hupapatti, hangarep lawangan, yen andikanikingong, magehaken indikanira, talampakanira Paduka Bhatara Sri Prameswara, sira sang mokkta ring wisnubhawana, dening kang apande esi ring Tamblingan, irahana muliha mareng Tamblingan manih, paramantri ta hangantramakna, Arya Cengceng tayo sidigawe kang kasujiwaning Tamblingan, lawan Arya Cengceng irehana lunga hasaking Tamblinganhangereng Lo Gajah, lawan dening pangraga skarekang kasujiwana ring Tamblingan, inging anajenengaken satak ring salawang nangken kawolu, dening panarakan ing desa irehane hahidepa ring Tamblingan, Unusanm, Pangi, Kdu, Tngah Mel, kang rajamudra yen uwus kawaca kagugona dene kang apande wsi ring Tamblingan. Tithi ka 10, Isaka 1320”.

Terjemahan bebasnya: Inilah perintahku yang harus diketahui dan dilaksanakan oleh para Menteri di Ularan, terutama oleh para upapati diseluruh wilayah, karena aku ingin menegakkan perintah raja terdahulu yaitu raja Prameswara yang telah berpulang ke Wisnuloka (mangkat) agar perintah terdahulu yang bertujuan memulangkan Pande Besi ke Tamblingan. Tetap diupayakan. Para pembesar (upapati) harus menjamin keselamatan mereka dengan mengawal kepulangan mereka. Arya Cengceng tidak boleh mengganggu penduduk Tamblingan. Dia harus tetap tinggal di Lwa Gajah. Untuk menghimpun dana guna mengurangi penderitaan penduduk Tamblingan aku memerintahkan pemunggutan upeti sebesar 200 pada tiap-tiap KK, yang harus dibayar setiap bulan kawulu (sekitar Pebruari) oleh penduduk Tamblingan, unusan, Pangi, Kedu, Tengah mel. Demikianlah rajamudra-ku (perintah), dan setelah dibaca harus dilaksanakan oleh Pande Besi di Tamblingan. Ditetapkan pada sasih Kadasa (sekitar bulan april) tahun Isaka 1320 (1398 M).


Tugas pemulangan Pande Tamblingan tahap kedua inipun gagal total juga. Apa buktinya? Buktinya jelas sekali, karena sampai sekarang keturunan Pande Tamblingan tidak ada yang menetap di Tamblingan. Mereka nyineb raga, menyembunyikan jati diri Pande-nya atau sembunyi-sembunyi bergabung dengan Pande yang datang kemudian ke Bali setelah jatuhnya Majapahit.

IV. Penemuan Prasasti Dikawasan Tamblingan

 Pura Dalem Tamblingan

Penemuan Prasasti Dikawasan Tamblingan

Prasasti itu diketemukan secara kebetulan pada tanggal 26 september 2002 pada waktu warga setempat menggali tanah dalam rangka perbaikan Pura Endek  Prasasti itu tersimpan rapi dalam sebuah guci yang diperkirakan berasal dari vietnam, yang berukuran setinggi 90 sentimeter, dan diketemukan pada kedalaman 75 sentimeter dari permukaan tanah.

Setelah diteliti, ternyata prasasti yang diketemukan itu dikeluarkan oleh 3 (tiga) orang Raja Bali Kuno, dari kurun waktu yang berbeda, yaitu oleh Raja Ugrasena, Raja Udayana dan Raja Suradhipa.

Keberadaan Pande dan hasil karya mereka terdapat dalam semua prasasti yang diketemukan itu. Dalam prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Ugrasena disebutkan bahwa Pande Tamblingan sudah bisa membuat baju besi yang tentu saja mempertinggi kualitas perkakas perang tentara raja raja Bali dalam peperangan. Dalam Prasasti yang diterbitkan oleh Raja Udayana disebutkan hasil karya Pande Tamblingan dan dalam prasasti yang diterbitkan oleh Raja Suradhipa ada uraian kelompok Pande yang dikenal dengan sebutan papilih mas (pande mas) dan pawsi (pande besi). Tentu tidak bisa dibantah bahwa orang yang membuat bilah bilah tembaga untuk prasasti itu adalah Pande Besi, demikian pula dalam prasasti itu ada disinggung keberadaan Gamelan Selonding yang pasti adalah merupakan hasil karya para Pande. Dalam Prasasti itu disebutkan para Pande dan para Penabuh Gamelan Selonding dibebaskan dari pengenaan pajak.

BERSAMBUNG V. Kawasan Tamblingan dihancur-leburkan oleh Arya Cengceng

III. Pande Tamblingan

Pande Tamblingan

Bahwa wilayah sekitar Danau Tamblingan memang merupakan wilayah komunitas Pande pada jaman Bali Kuno telah lama dikenal oleh para pakar arkeologi dan pakar sejarah Bali Kuno. Misalnya sarjana yang sangat terkenal P.V. Van Callenfells sudah pada tahun 1925 menerbitkan hasil penelitiannya mengenai Pande Tamblingan yang secara khusus dibahasnya pada bukunya yang berjudul Epigrafi Balica

Banyak peninggalan peninggalan berupa perabot untuk memande dan kerak kerak besi yang diketemukan berserakan di kawasan Tamblingan yang membuktikan bahwa kawasan itu adalah bekas pemukiman Pande pada jaman Bali Kuno. Banyaknya Palungan Pendingin yang berserakan di kawasan itu makin memperkuat bukti bahwa kawasan itu adalah pusat pembuatan senjata seperti keris, tombak, alat alat kesenian, Gamelan, alat alat pertanian, alat alat dapur, dan sarana sarana untuk keperluan upacara agama Hindu.

Dikawasan Danau Beratan pun banyak peninggalan berupa perabot memande, seperti palungan pendingin  dan pengububan serta alat alat memande lainnya. Penemuan itu sekarang disimpan dan dikeramatkan di komplek Pura Beratan di tepi Danau Beratan

Oleh karena itu tidaklah terlalu mengherankan adanya penemuan 16 bilah prasasti dikawasan Tamblingan pada tahun 2002 yang lalu. Kemungkinan besar masih banyak peninggalan peninggalan lainnya yang tersembunyi atau sengaja disembunyikan oleh para Pande dengan menanamnya di kedalaman tertentu atau ditenggelamkan ke Danau Tamblingan, danau Buyan, dan Danau Bratan atau disembunyikan di tempat yang sangat sulit diketemukan oleh lawan. Prasasti Langgahan, satu satunya prasasti dari Raja Asta Asura Ratna Bhumi Banten  pada jaman dulu pun disembunyikan pula oleh pengemong Pura dengan cara menanamnya dalam dalam dibawah tanah agar selamat dari penjarahan atau penghancuran oleh tentara Majapahit.

Timbul pertanyaan mengapa Pande Tamblingan perlu menyembunyikan prasasti prasasti itu? Apakah Tujuannya? Dapat diduga tujuannya adalah agar prasasti prasasti dan benda benda lainnya selamat dan tidak dijarah atau dimusnahkan oleh musuh. Mereka mengharap kelak apabila situasi kondusif lagi dan mereka bisa kembali dari pengungsiannya, mereka dapat mencari lagi alat alat memande yang mereka sembunyikan. Dan siapakah yang dimaksud dengan musuh itu?

sebelum menjawab pertanyaan itu marilah kita bahas terlebih dahulu mengenai penemuan 16 (enam belas) bilah prasasti di Tamblingan, karena jawaban atas berbagai pertanyaan diatas tersirat dalam prasasti yang diketemukan itu.

BERSAMBUNG IV.Penemuan Prasasti di Kawasan Tamblingan

II. Pande Pada Jaman Bali Kuno

Pande Pada Jaman Bali Kuno

Kelompok atau komunitas Pande di Bali telah jelas eksistensinya sebelum jaman Bali Kuno, tetapi mereka itu tidak membentuk klen atau warga ataupun soroh seperti Pande pada jaman Bali Madya, yang meliputi kurun waktu abad XIII s/d abad XIV. jaman Bali Madya berakhir dengan jatuhnya kekuasaan kerajaan yang berpusat di Gelgel sebagai akibat pemberontakan Patih Agung Maruti pada tahun 1685 Masehi

kendatipun belum terhimpun dalam warga atau soroh, pekerjaan memande dikerjakan secara turun temurun hanya oleh keturunan Pande saja. Mereka umumnya mendapatkan perlakuan istimewa dari para raja, misalkan dibebaskan dari pengenaan beberapa jenis pajak, karena kemuliaan hasil karya mereka yang sangat diperlukan oleh raja dan seluruh masyarakat.

Profesi memande dan komunitas Pande telah muncul pada
  1. Prasasti Trunyan AI, bertahun 813S. Selanjutnya keberadaan komunitas Pande bertebaran jumlahnya pada berbagai prasasti yang dikeluarkan oleh raja raja yang berlainan dalam kurun waktu yang membentang selama tiga abad pemerintahan raja raja Bali Kuno, seperti yang termuat dalam beberapa prasasti antara lain dalam
  2. Prasasti Bebetin AI tahun 818 S
  3. Prasasti Trunyan B, tahun 833 S
  4. Prasasti Pengotan AI 847 S
  5. Prasasti Batunya, tahun 855 S
  6. Prasasti Sembiran AII tahun 897 S
  7. Prasasti Buahan A, Tahun 916 S
  8. Prasasti Batuan tahun 944 S
  9. Prasasti Bulian A, Tahun 1103 S
  10. Prasasti Kehen C, tahun 1126 S 
  11. Prasasti Tamblingan A tahun 1306 S
  12. Prasasti Tuluk Biyu tahun 1306 S
  13. Prasasti Tamblingan B, tahun 1320 S
Dalam Prasasti yang diketemukan di Pura Endek di tepi Danau Tamblingan  pada tahun 2002 yang lalu disebutkan pula bukti bukti eksistensi Pande di Bali, yang akan melengkapi bukti bukti historis yang telah dikemukakan diatas

BERSAMBUNG III Pande Tamblingan

Sunday 17 March 2013

Pande Tamblingan.




Pande Tamblingan.
Tirta Yatra Napak Tilas ke Situs Pande Jaman Bali Kuno

Disusun oleh 
Made Kembar Kerepun
Penasehat Maha Semaya Warga Pande 

I. Raja -Raja Bali Pada Jaman Bali Kuno

Karena kita akan membahas keberadaan kelompok atau komunitas Pande pada masa Bali Kuno, kita perlu memahami terlebih dulu apa yang dimaksud dengan jaman Bali Kuno dan siapa saja raja - raja yang memerintah pada jaman itu.
Jaman atau periode Bali Kuno adalah Periode dalam sejarah Bali  yang meliputi kurun waktu selama kurang lebih 3 (tiga) abad lamanya, dari abad X s/d abad XIII, yang terakhir dengan penaklukan Bali oleh Majapahit pada tahun 1343
Berdasarkan prasasti yang berhasil diketemukan sampai dengan saat ini ada 23 (dua puluh tiga) raja yang pernah memerintah di Bali pada Jaman Bali Kuno.

Berturut turut raja raja itu adalah sebagai berikut
  1. Sri Kesari Warmadewa , (Saka 835/ Masehi 914)
  2. Sang Ratu Ugrasena , ( Saka 837-864/Masehi 915-942)
  3. Sang Ratu Sri Haji Tabanendra Warmadewa (Saka 877-889/Masehi 955- 967)
  4. Jayasingha Warmadewa (Saka 882/Masehi 960)
  5. Sang Ratu Sri Jayasadhu Warmadewa (S 897/M 975)
  6. Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi (S 905/M 983)
  7. Sri Gunapriyadharmapatni, bersama suaminya Sri Dharmodayana Warmadewa (S911-923/M989-1001)
  8.  Sang Ratu Sri Adnyani (S 938/M 1016)
  9. Paduka Haji Sri Dharmawangsawardhana Marakatapangkajasthanottunggadewi (S944-947/M 1022-1025)
  10. Paduka Haji Anak Wungsu (S971-999/M 1049-1077)
  11. Sri Maharaja Sri Walaprabhu (S1001-1010/M 1079-1088)
  12. Paduka Sri Maharaja Sri Sakalendukirana Isana Gunadharma Laksmidara Wijayottunggadewi (S1010-1023/M 1088-1101)
  13. Paduka Haji Sri Maharaja Sri Suradhipa (S1037-1041/M 1115-1119)
  14. Paduka Sri Maharaja Sri Jayasakti (S1055-1072/M 1133-1150)
  15. Paduka Sri Maharaja Sri Ragajaya (S 1077/ M 1155)
  16. Paduka Sri Maharaja Sri Jayapangus (S1099-1103/M 1177-1181)
  17. Paduka Sri Maharaja Haji Ekajaya Lancana (S1122/M 1200)
  18. Bhatara Prameswara Sr i Wirama atau Sri Dhanadirajalancana (S1126/M 1204)
  19. Bhatara Prameswara Hyang Ning Hyang Adidewa Lamcana (S1182/M 1260)
  20. Raja Patih Kebo Parud (S1218-1222/M 1296-1309)
  21. Paduka Sri Maharaja Sri Bhatara Mahaguru Dharmottungga Warmadewa  (S1246-1247/M1324-1325)
  22. Paduka Bhatara Sri Wijayakrtaningrat (S1250/M 1326)
  23. Paduka Bhatara Sri Asta Asura Ratnabhumibanten (S1259-1337/M1437-1415)   
Semua Raja Raja itu menerbitkan Prasasti diatas lempengan tembaga yang terkenal dengan istilah Tambra prasasti yang mampu bertahan berabad abad, berbeda degan Raja Raja Gelgel dan Raja Raja Bali kemudian, yang biasanya membuat prasasti yang terkenal dengan istilah babad, yang ditulis diatas daun rontal yang dikenal dengan sebutan ripta prasasti. Karena ditulis diatas daun rontal, babad- babad di Bali yang terbit sejak jaman Gelgel cepat rusak

Disamping perbedaan bahan bakunya, prasasti raja raja Bali Kuno jauh lebih jelas isinya karena dalam kebanyakan prasasti itu dengan jelas dikemukakan nama raja yang menerbitkannya. Demikian pula dengan jelas dicantumkan hari tanggal, hari pasaran, Wuku, hari purnama atau tilem, dan tahun Saka diterbitkannya prasasti itu. Dalam Prasasti itu disebutkan pula siapa yang penulisnya. Dalam prasasti raja raja Bali Kuno biasanya terdapat kutukan atau Sapata yang ditimpakan bagi mereka yang melanggar isinya.
BERSAMBUNG II Pande pada Jaman Bali Kuno

Prasasti Tamblingan, Pura Endek (4)

Prasasti Tamblingan, Pura Endek
(bagian IV)



Apabila ada kelompok seniman datang dan pentas di desa Tamblingan seperti seniman tari, tabuh, topeng, badut, lawak, wayang supaya diberi upah dalam jumlah tertentu. Jika di desa Tamblingan ada perkumpulan penabuh, penyanyi dalam jumlah tertentu. Akan tetapi bila perkumpulan Salunding wesi dan galunggang ptung tidak dipunguti iuran. Kelompok kelompok seniman ini bila pentas di desa lain tidak dipungut biaya perjalanan


Penduduk Desa Tamblingan diperkenankan bekerja di desa lain dan ia harus membayar kepada Samgat Taji 2 ma 2 ku, pamli 1 ku. Apabila bekerja di wilayah Desa Tamblingan juga wajib membayar 1 ma 1 ku. Penduduk diperkenankan mengerjakan tanah, membuat jaring jaring air disekitar tempat suci seperti kahyangan, katyagan, patapan, sima, silunglung, sala, pangalumbigian akan tetapi mereka wajib memelihara dan melaksanakan upacara di tempat - tempat suci tersebut

Diamanatkan penduduk Desa Tamblingan agar tidak melakukan tindak pidana atau tindak kekerasan seperti mencuri, merampok, merampas, mengamuk, membegal, aneluh, meracun, bertindak durhaka. Tindakan seperti itu merupakan dosa besar yang mengakibatkan harta dan rumahnya lenyap. Kekayaan tersebut dihaturkan atau menjadi milik Hyang Api di Tngah Mel.

Apabila ada yang berhutang mengungsi ke Tamblingan, penduduk desa wajib memberi perlindungan, jangan dipakai bahan pembicaraan, jangan disiksa, ditawan dan jangan dipukul dengan duri kaktus, sepanjang yang berhutang mau membayar hutangnya 4 ma setahun. Begitu pula bila ada penduduk Desa Tamblingan salah jalan memperistri turunan Brahmana, Hunjeman, Keling ia harus membayar pamucuk 1 ma 1 ku.

Keputusan prasasti ini disyahkan  dan disaksikan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Paripurna Kerajaan yang terdiri atas pemuka agama Siwa dan Budha, para senapati Rakyan Patih, Para senapati, Samgat, Samgat Caksu, Samgat Juru termasuk pula sekretaris Kerajaan.

Untuk menguatkan keputusan ini secara niskala dimohonkan kekuatan, upasaksi, dan kutukan kepada para leluhur, Dewa dewa, Bhatara, Butha, Kala, Yaksa, Pisaca, Preta, Gandarwa, mahluk mahluk halus lain, kekuatan alam apabila ada orang yang berani melanggar keputusan ini dari golongan manapun supaya selamanya ditimpa malapetaka termasuk keluarga dan keturunannya.

Pada bagian akhir prasasti ditentukan batas batas wilayah Desa Tamblingan.

I Gusti Made Suarbhawa 
(Balai Arkeologi Denpasar)

Catatan    
Prasasti Tamblingan, Pura Endek V Dikeluarkan oleh Raja Suradhipa tahun 1041 Saka (1119 M )
Lembar 12 a baris 5 disebutkan,.... lawan yan hana salunding wsi, galunggang ptung ri thaninya kapwa tan kna drawyahaji...

Prasasti Tamblingan, Pura Endek (3)

Prasasti Tamblingan, Pura Endek
(bagian III)


I S I  

Pada tahun Saka 1041 (1119 Masehi) bulan Phalguna (Kawolu) tanggal 12 paro terang Was, Umanis, Kamis, Wuku Sinta, itulah saatnya penduduk Tamblingan sewilayah desanya yang diwakili oleh para sesepuh desa (Rama Kabayan) berjumlah 12 orang, dan ketua kelompok (Jumpung) yang bernama Jiwatah, sekretaris (Manyuratang) bernama Dandina, pemuka agama yaitu Pendeta Dalesa serta dipimpin atau dipandu oleh Samgat Taji bernama Namagawatah menghadap kepada Paduka Sri Maharaja Sri Suradhipa melalui perantaraan para pejabat Majelis Permusyawaratan Paripurna Kerajaan terutama para senapati dan para pemuka agama Siwa dan Buddha.

Adapun sebab penduduk desa Tamblingan menghadap Raja bermaksud menyampaikan keadaan mereka yang diminta memperbaiki benteng di Manasa termasuk gapura, puncagiri (bangunan besar), wanteyan (bangunan untuk pertahanan) karena saat itu Manasa rusak akibat perampokan. Hal itu selalu dijadikan bahan pembicaraan  dan tuntutan para pejabata di Manasa, serta masyarakat Tamblingan disuruh kerja bakti di Manasa. Hal ini merupakan beban pikiran dan mohon kepada Raja supaya dikembalikan sebagaimana keadaan semula tidak dikenai pekerjaan yang satu ini. Bagi mereka akan sangat bermanfaat apabila wacana dan tuntutan diatas dihentikan.

Berdasarkan hal itu maka turunlah perintah / keputusan Sri Maharaja kepada penduduk desa Tamblingan bahwa mereka tidak diwajibkan kerja bakti memperbaiki benteng, pintu, puncagiri, wantean di Manasa, dan tidak boleh dipermasalahkan oleh para pejabat di Manasa.

Sebagai konsekwensi dari keputusan ini masyarakat wajib membayar pajak, iuran, punjutan dan yang semacam itu pada waktu dan jumlah tertentu. Dibalik itu mereka juga bebas dari beberapa kewajiban, membayar pajak, iuran pungutan cukai tertentu

Segala bentuk kewajiban dan hal yang dibebaskan  tercantum dalam prasasti. Beberapa pungutan yang mesti dibayar antara lain karundung tunggal, palbur 4 masaka, pacaksu 2 ku, pajak usaha ternak skala besar 6 su, pajak usaha ternak skala kecil 4 ma su, pajak pembelian sapi, kerbau dibayar kepada Samgat Hulu Gajah, dll.

Penduduk Desa Tamblingan bebas dari beberapa iuran ataupun pungutan antara lain seperti : pangiuk, pangleye, palaris, papilih mas, pabhumi, petri, pawsi, tali karundung, palalung, pasasumpat, patuwuh, padangsil, pasmat, pajejekan, pasawung dangsil, dan lain lain.

Apabila  ada kuda, kerbau, sapi, babi, kambing mati di sawah, tegal pagagan di daerah Tamblingan cukup disampaikan kepada tetangga, akan tetapi bila ada lembu, ular sawah, terlebih lebih manusia yang mati harus dilaporkan kepada pejabat. Selanjutnya apabila penduduk Tamblingan menjumpai orang mati tenggelam di danau tidak usah melapor pada Raja, akan tetapi tiga hari setelah peristiwa itu penduduk wajib melaksanakan caru prayascita.

Demikian pula apabila ada turunan bangsawan ataupun kerabat bangsawan bertempat tinggal di Tamblingan beliau tidak diwajibkan melaksanakan penjagaan desa tetapi tiap tahun wajib membayar pajak rot.

Saturday 16 March 2013

Prasasti Tamblingan, Pura Endek (2)

Prasasti Tamblingan, Pura Endek
(bagian II)


Prasasti Kelompok I (Ugrasena)

Dikeluarkan oleh Raja Ugrasena pada tahun Saka 844 atau 922 Masehi. Berkenaan dengan perbaikan Hyang Tahimuni di Tamblingan. Disebutkan pula pejabat - pejabat kerajaan, dan jabatan Juru Pande. Selain itu disebut pula pembuatan Baju besi


Prasasti Kelompok II (Ugrasena)

Disebut beberapa pejabat kerajaan pada masa pemerintahan Raja Ugrasena. Selain itu disebut beberapa iuran dalam bentuk barang maupun dalam bentuk uang


Prasasti Kelompok III (Ugrasena)

Prasasti type Yumu Pakatahu ini dikeluarkan oleh Raja Ugrasena ditujukan kepada sekelompok penduduk di Tamblingan yang merupakan pemuja Siwa (Jumpung Siwa). Dalam prasasti antara lain disebutkan apabila ada pejabat kerajaan yang datang kedesanya supaya dijamu dengan nasi 5 lamak dengan 3 ekor ayam. Demikian pula disebutkan kewajiban masyarakat Tamblingan membayar iuran dalam bentuk barang dan uang dengan jumlah tertentu pada hari hari tertentu pula.

Prasasti Kelompok IV (Udayana)

Prasasti dikeluarkan pada tanggal 11 paro gelap (Pangelong 11) Paniron, Pahing, Sukra wuku Dukut tahun ----. Sebab sebab prasasti dikeluarkan karena permohonan beberapa pemuka masyarakat Tamblingan, mereka mohon agar diperkenankan mengganti prasasti lontar mereka yang sudah rusak, yang selanjutnya agar diganti dengan prasasti tembaga. Keputusan proses penggantian prasasti dari lontar ke tembaga disahkan dan disaksikan dalam persidangan Majelis Permusyawaratan Paripurna Kerajaan (Pakirakiran i jro makabehan) yang terdiri beberapa unsur dan tingkatan pejabat.

 Prasasti Kelompok V (Sri Maharaja Sri Suradhipa)

Jumlah   : 15 lempeng
Lempeng 2 - 14 ditatah / ditulisi aksara pada kedua sisi (halaman) masing masing lima baris aksara Jawa Kuna. Lempeng pertama ditulisi lima baris aksara pada satu sisi yaitu sisi b, dan lempeng 15 tiga baris aksara pada sisi a (depan).

ISI

 
  

Prasasti Tamblingan Pura Endek

Prasasti Tamblingan, Pura Endek

Oleh : I Gusti Made Suarbhawa
(Balai Arkeologi Denpasar)

Prasasti yang ditemukan di Pura Endek, Tamblingan terdiri atas 18 lempeng prasasti ( 15 lempeng utuh, 3 lempeng fragmen besar dan beberapa fragmen kecil). Lempengan - lempengan ini diduga terdiri dari lima kelompok prasasti yaitu fragmen besar I yang terdiri atas 19 baris aksara Bali Kuno dan menggunakan Bahasa Bali Kuna merupakan dua buah prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Ugrasena. Baris 1 sampai dengan pertengahan baris 8 dikeluarkan pada tahun 844 Saka atau 922 masehi. Untuk selanjutnya disebut Prasasti Tamblingan, Pura Endek I.

Dari pertengahan baris 8 sampai dengan baris 19 dan dilanjutkan dengan fragmen besar II dari baris satu sampai dengan baris 6 juga dikeluarkan oleh Raja Ugrasena (tanpa angka tahun), selanjutnya disebut Prasasti Tamblingan, Pura Endek III.

Baris ke 7 sampai dengan baris 20 ditulisi aksara Bali Kuno dengan menggunakan bahasa Jawa Kuno dikeluarkan oleh pasangan raja suami istri Sri Gunapriya Dharmapatni dan Sri Dharmodayana,  
selanjutnya disebut Prasasti Tamblingan, Pura Endek III.

Lempengan fragmen besar III yang terdiri atas 11 baris aksara Bali Kuno dan menggunakan bahasa Bali Kuno merupakan satu prasasti yang juga dikeluarkan oleh Raja Ugrasena, yang  selanjutnya disebut Prasasti Tamblingan, Pura Endek II.

15 lempeng prasasti utuh, selanjutnya disebut  Prasasti Tamblingan, Pura EndekV, dikeluarkan oleh Raja Suradhipa tahun 1041 Saka.

Ukuran Prasasti

- Ugrasena (Tamblingan Pura Endek I, III)
   Panjang   : 31 cm
   Lebar      : 22 cm
   Tebal       : 1   mm

- Udayana (Tamblingan Pura Endek IV)
   Panjang   :  40 cm
   Lebar      :  23 cm
   Tebal       :  1,1 mm

- Suradhipa (Tamblingan Pura Endek V)
   Panjang   : 43 cm
   Lebar      : 9,1 cm
   Tebal       : 2,5 mm