Sekarang marilah kita kembali pada pertanyaan yang telah diketemukan diatas. Pertanyaannya adalah mengapa Pande Tamblingan menyembunyikan prasasti - prasasti dan perabot perabot memande lainnya dan mengapa mereka pergi mengungsi menyelamatkan diri dengan meninggalkan kampung halamannya?
Dalam tulisan Adnyana Ole mengenai penemuan bilah bilah prasasti Tamblingan itu, yang dimuat dalam BaliPost edisi tanggal 5 oktober 2002 yang berjudul : Menelusuri Jejak Masa Lalu Disisi Danau Tamblingan kepergian orang Tamblingan meninggalkan wilayahnya entah kemana, dipertanyakannya juga, sebagaimana dikemukakannya dalam penutup tulisannya sebagai berikut :
" Peneliti itu belum juga mengetahui penyebab masyarakat itu meninggalkan wilayah Tamblingan, apakah karena bencana alam atau daerah itu memang ditinggalkan dengan sengaja. Jika ditinggalkan dengan sengaja, pertanyaan berikutnya kemana mereka pergi? Jawabannya bisa diperoleh besok bisa juga satu abad mendatang karena proses penelitian bukanlah proses sekali jadi"
kita tidak perlu menunggu jawabannya satu abad yang akan datang. Dan juga tidak perlu menduga kepergian mereka karena bencana alam yang jelas mereka meninggalkan wilayahnya bukan dengan sukarela dan bukan pula karena bencana alam, tetapi karena bencana serangan hebat yang menghancur-leburkan wilayah mereka secara mendadak oleh tentara Majapahit, oleh karena kawasan Tamblingan adalah sentra industri raja raja Bali Kuno
Penyerbuan tentara Majapahit ke Tamblingan dipimpin salah seorang panglima perang Majapahit yang ikut dalam invasi penaklukan Bali oleh Gajah Mada pada tahun 1343, karena Raja Bali Asta Asura Ratna Bumi Banten, tidak mau tunduk pada hegemoni Majapahit. Nama panglima perang yang ditugaskan memimpin serangan mendadak itu adalah Arya Cengceng
Warga Pande yang masih hidup terpaksa mengungsi ke wilayah wilayah lainnya yang aman dari jangkauan tentara Majapahit, dengan terlebih dulu menyembunyikan prasasti prasasti dan benda benda berharga lainnya yang tidak mungkin mereka bawa mengungsi. Pande Tamblingan yang merantau itu kemudian terkenal dengan sebutan Pande Bangke Maong dalam babad babad Pande
Mengapa mereka terkenal dengan sebutan Pande Bangke Maong?
Ada dua versi jawabannya mengenai hal itu. Mereka disebut Pande Bangke Maong, disebabkan
oleh meranen atau berbisanya senjata perang yang mereka buat. Orang yang
terkena tikaman atau tersentuh saja oleh senjata bikinan mereka, konon segera
mati dan mayatnya mendadak menjadi maong, kusam warnanya, berwarna kotor dan
seketika bercendawan. Versi yang lain, menyatakan bahwa kata Pande Bangke Maong
merupakan plesetan dari kata-kata Pande Bang Kemawon yang berarti ”Pande Merah
Saja’ warna khas Pande, karena merah adalah warna Bhatara Brahma, junjungan
warga Pande. Dengan istilah Pande Bang Kemawon mereka ingin menunjukkan jati
diri mereka sebagai penyembah Brahma.
Sekarang marilah kita ke masalah yang sangat penting, untuk
menjawab mengapa Pande Tamblingan meninggalkan daerahnya dan pergi mengungsi
menyelamatkan diri ke tempat-tempat yang aman. Jawabannya adalah karena
strategi perang yang dilancarkan oleh Gajah Mada dengan menghancur leburkan
terlebih dahulu pusat industri senjata raja Bali, sebelum melakukan serangan
frontal ke seluruh Bali. Mengapa justru wilayah Tamblingan yang dijadikan
sasarang? Karena sebagai ahli strategi yang ulung, Gajah Mada melalui laporan
mata-matanya, tahu betul bahwa kawasan Tamblingan adalah kawasan Pande yang
sangat terkenal, dan merupakan pusat pembuatan senjata bagi raja-raja Bali
sejak dulu. Kemahiran mereka yang telah mampu membuat baju besi dan mampu
membikin senjata yang beracun atau berbisa, tentu merupakan keunggulan Bali dan
demi memenangkan perang, pusat pembuatan senjata itulah yang harus dilumpuhkan
terlebih dulu dengan sekaligus menumpas habis Pande Tamblingan yang tersohor
piawai membuat alat-alat perang.
Yang ditugaskan memimpin penghancuran itu adalah Arya
Cengceng yang berhasil melaksanakan tugasnya dengan gilang gemilang. Setelah
Bali berhasil dijajah oleh Majapahit, dan Raja yang ditempatkan di Bali tidak
mempunyai lagi Pande yang punya keahlian seperti Pande Tamblingan, karena
mereka banyak yang terbunuh dan sisanya menyelamatkan diri mengungsi ke
tempat-tempat yang aman, timbulah masalah baru, apa yang harus dilakukan agar
Pande Tamblingan yang masih hidup yang mengungsi entah kemana, bisa dibujuk
agar mau pulang kembali ke Tamblingan, membangun kembali pusat pembuatan
senjata, dengan memberi jaminan keselamatan penuh dari raja bagi Pande yang mau
kembali ke Tamblingan.
Pande Tamblingan Tidak Mau Kembali
Tugas itu diberikan kepada Mantri Ularan dan para Upapati
(pembesar) lainnya untuk membujuk agar Pande Tamblingan yang masih hidup mau
kembali ke wilayahnya semula. Ternyata usaha itu gagal total, karena Pande
Tamblingan tetap curiga dan takut kalau-kalau mereka diperdaya, dijebak, dan
kemudian dihabisi seperti yang dialami rekan-rekannya. Oleh karena itu mereka
tidak mau kembali ke wilayah asalnya di Tamblingan, apalagi yang memimpin
pemulangan itu adalah orang-orang ganas yang menghancur leburkan wilayah mereka
dan yang membunuh rekan-rekan mereka.
Untuk itu dikeluarkanlah prasasti oleh raja Prameswara,
seorang raja dari Wngker, paman dari raja Hayam Wuruk, yang ditunjuk oleh Gajah
Mada sebagai Kontrolir Bali, yang bertugas selain membantu sekaligus
memata-matai Raja Bali yang memerintah Bali atas nama Majapahit.
Berikut adalah transkripsi prasasti dimaksud:
Berikut adalah transkripsi prasasti dimaksud:
”Iku surat ingong katka bahang para mantri ularan samadya,
maka nguni hupatiti, hinar plahangan, deninya Pande wesi ring Tamblingan ira
ana muliha mareng Tamblingan manih para mantri mahangantra makna Arya Cengceng
tayo sidi gawe kang kasujiwaing Tamblingan, lawanhire hane Arya Cengceng lung
ta ya ri Tamblingan hanerahin Lwa Gajah apan ingong huwushawehengwonana Arya
Cengceng lawan dening pangraga sekarekan kasijiwaning Tamblingan hingong
ajegaken satak salawang nengken kawolu kang atura prenalas, dening panakraning
desa, ira hane malrahidepa hing rama ning Tamblingan, unusan, Pangi, Kdu, Tngah
Mel. Tithi ka-3, Isaka 1306”
Terjemahan bebasnya: ”Demikianlah suratku kepada para
Menteri di Ularan semuanya, terutamanya kepada Hupapati, mengenai para Pande
Besi di Tamblingan, supaya mereka diupayakan kembali ke Tamblingan. Para Mantri
hendaknya menjaga keselamatan mereka dengan mengawal kepulangan mereka ke
Tamblingan dan Arya Cengceng janganlah mengganggu ketentraman penduduk di
Tamblingan, dan Arya Cengceng supaya pergi dari Tamblingan, dan pindah
bertempat tinggal di Lwa Gajah (Goa Gajah) karena aku telah membagi tempat
tinggal Arya Cengceng dan mengenakan iuran (pangraga sekar) untuk ketentraman
desa dan penduduk Tamblingan , yang aku tetapkan sebesar 200 bagi setiap rumah
(KK) dan agar iuran itu dibayar setiap sasih kawulu (sekitar bulan Pebruari).
Hendaknya semua penduduk lebih menjaga semua hutan dikawasan Tamblingan,
Unusan, Pangi, Kedu, Tengah Mel. Dikeluarkan tanggal 3, Saka 1306 (1384 M).
Dari perintah raja agar Arya Cengceng tidak mengganggu
penduduk Tamblingan dan dengan tegas memerintahkan agar dia pergi dari wilayah
Tamblingan dan menetap di Lwa Gajah, terlihat betapa kejam tingkah lakunya pada
wkatu menghancurkan wilayah Tamblingan dan menyiksa rakyat yang masih hidup.
Kendatipun ada jaminan bahwa penduduk dan Pande Tamblingan dijamin keamanannya
sampai mereka tiba dengan selamat di wilayahnya semula, karena para menteri
diperintahkan dengan tegas agar mereka mengantar dan menjaga keselamatan para
Pande itu, toh tidak ada warga Pande yang mau kembali ke wilayahnya semula.
Dengan demikian upaya pemulangan itu gagal total.
Karena prasasti pertama tidak mencapai hasil alias gagal
total, dan karena begitu pentingnya peranan Pande Tamblingan bagi kekuatan
pertahanan kerajaan, raja menerbitkan prasasti baru, 14 tahun setelah keluarnya
prasasti pertama. Prasasti ini dikeluarkan tahun Saka 1320/1398 M, yang isinya
mengulangi perintah yang termuat dalam prasasti pertama. Transkripsi prasasti
yang kedua berbunyi sebagai berikut :
”Iku weruhane kang para mantring Ularan samadaya, makanguni
hupapatti, hangarep lawangan, yen andikanikingong, magehaken indikanira,
talampakanira Paduka Bhatara Sri Prameswara, sira sang mokkta ring
wisnubhawana, dening kang apande esi ring Tamblingan, irahana muliha mareng
Tamblingan manih, paramantri ta hangantramakna, Arya Cengceng tayo sidigawe
kang kasujiwaning Tamblingan, lawan Arya Cengceng irehana lunga hasaking
Tamblinganhangereng Lo Gajah, lawan dening pangraga skarekang kasujiwana ring
Tamblingan, inging anajenengaken satak ring salawang nangken kawolu, dening
panarakan ing desa irehane hahidepa ring Tamblingan, Unusanm, Pangi, Kdu, Tngah
Mel, kang rajamudra yen uwus kawaca kagugona dene kang apande wsi ring
Tamblingan. Tithi ka 10, Isaka 1320”.
Terjemahan bebasnya: Inilah perintahku yang harus diketahui
dan dilaksanakan oleh para Menteri di Ularan, terutama oleh para upapati
diseluruh wilayah, karena aku ingin menegakkan perintah raja terdahulu yaitu
raja Prameswara yang telah berpulang ke Wisnuloka (mangkat) agar perintah
terdahulu yang bertujuan memulangkan Pande Besi ke Tamblingan. Tetap
diupayakan. Para pembesar (upapati) harus menjamin keselamatan mereka dengan
mengawal kepulangan mereka. Arya Cengceng tidak boleh mengganggu penduduk
Tamblingan. Dia harus tetap tinggal di Lwa Gajah. Untuk menghimpun dana guna
mengurangi penderitaan penduduk Tamblingan aku memerintahkan pemunggutan upeti
sebesar 200 pada tiap-tiap KK, yang harus dibayar setiap bulan kawulu (sekitar
Pebruari) oleh penduduk Tamblingan, unusan, Pangi, Kedu, Tengah mel.
Demikianlah rajamudra-ku (perintah), dan setelah dibaca harus dilaksanakan oleh
Pande Besi di Tamblingan. Ditetapkan pada sasih Kadasa (sekitar bulan april)
tahun Isaka 1320 (1398 M).
Tugas pemulangan Pande Tamblingan tahap kedua inipun gagal
total juga. Apa buktinya? Buktinya jelas sekali, karena sampai sekarang
keturunan Pande Tamblingan tidak ada yang menetap di Tamblingan. Mereka nyineb
raga, menyembunyikan jati diri Pande-nya atau sembunyi-sembunyi bergabung
dengan Pande yang datang kemudian ke Bali setelah jatuhnya Majapahit.